Liputan6.com, Semarang "Ketika bercermin di air telaga, Ulil si ulat bulu itu mengeluhkan tubuh dan wajahnya yang seram..."
Baris itu meluncur lancar dari bibir mungil Muna Hanifah (8), siswa kelas 2 SD Juara Semarang. Teman-temannya yang menjadi asisten terlihat sibuk mempersiapkan boneka lain.enyuluhan Pengembangan Nilai Positif Murid SD di Jagakarsa
Muna terus mendongeng. Hadirin yang terdiri dari wali murid dan guru-guru sesekali tergelak.
"Setelah berdoa, ternyata Ulil bisa berubah menjadi kupu-kupu. Nah, buat Bapak dan Ibu, bersikaplah seperti Ulil yang bersedia mensyukuri dan memperbaiki diri. Ia yang awalnya makan daun-daunan dan merusak, akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang hanya menghisap nektar. Makanan paling halal," kata Muna.
Ketika menyajikan dongeng dengan story telling itu pada 2013, Muna Hanifah masih duduk di kelas 2 SD Juara Semarang. Kini Muna Hanifah sudah kelas 6. Namun, ia masih konsisten mengajak para wali murid yang terdiri dari kaum dhuafa itu untuk tetap bersyukur.
Ajakan Muna yang awalnya tersaji dalam Panggung Juara, sebuah pentas apresiasi terhadap potensi siswa, yang digelar SD Juara Semarang itu terus berkembang.
Menurut Kepala SD Juara Semarang, Zainal Abidin, tiap tahun pihaknya menggelar pentas apresiasi. Bukan hanya pentas seni, tetapi juga meliputi seluruh potensi.
SD Juara Semarang adalah sebuah sekolah yang menganut paham sekolah inklusi. Sekolah itu juga menerima siswa berkebutuhan khusus.
Zainal Abidin menjelaskan, sebagai sebuah inklusi, konsekuensinya adalah pihak sekolah harus bisa menempatkan semua siswa pada posisi yang sama.
"Kami mencoba mengakomodasi semua, mulai dari seni, olahraga, kegemaran riset dalam iptek, sastra, dan lainnya. Saat ini kami masih kesulitan menyediakan guru bagi siswa berkebutuhan khusus. Jadi inklusi kami memang masih terbatas," kata Zainal, Rabu, 19 April 2017.
Menyediakan guru bagi anak berkebutuhan khusus bukan hal mudah. Selain karena keterbatasan sumber daya manusia, juga masalah finansial. Mengapa? Jawabannya sederhana, karena SD Juara adalah sekolah inklusi non-pemerintah yang dikelola secara gratis.
Sekolah gratis berkualitas ternyata bukan bukan hanya angan-angan mustahil. Itulah yang menyebabkan Indonesia Juara Foundation membuka sekolah ini.
Berdasarkan data di Biro Pusat Statistik (BPS) di tahun 2016, jumlah keluarga miskin di Kota Semarang mencapai 85.270 orang atau 5,6 persen dari total penduduk Semarang. Angka ini menurun drastis dibandingkan data kependudukan di Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kota Semarang yang mencapai 367.848.
Selain memberikan materi pembelajaran akademik seperti sekolah lainnya, sekolah ini juga mengakomodasi kecerdasan lain yang tak terwadahi dalam kurikulum.
"Siswa siswi di SD Juara memang dari masyarakat kurang mampu secara finansial. Selain memberikan pembelajaran yang berkualitas, kami juga memfasilitasi adanya parenting school, yakni bimbingan kepada orang tua, bagaimana mendampingi putra putrinya. Jadi kami harapkan ada irama yang sama di sekolah dan di keluarga," kata Zainal Abidin.
Pemilihan nama SD Juara memang tak seperti kosa kata juara dalam pemahaman masyarakat awam. Namun pemilihan nama itu merefleksikan bahwa seluruh anak adalah juara. Kecerdasan tiap anak berbeda-beda dan semua perlu diakomodasi dan di fasilitasi.
"Bisa jadi ada yang nggak pintar matematika, ipa, atau bidang akademik. Namun memiliki citarasa seni yang tinggi. Nah, kami tak memaksa siswa tersebut untuk menguasai bidang yang tak disukai. Kami justru akan mengoptimalkan kelebihannya," kata Zainal.
Sebagai sekolah inklusi, SD Juara memiliki beberapa anak berkebutuhan khusus. Misalnya Anisa yang kesulitan berbicara, Neneng yang mengalami disklesia atau sulit membaca meski usianya sudah mendekati 17 tahun, Ruby yang reaktif seperti anak autis dan juga Nasya yang agak down syndrome.
Siswa-siswa berkebutuhan khusus itu mendapatkan perlakuan yang sama dengan siswa lain. Hanya saja diberi pendampingan ekstra. Selain itu, teman-temannya yang tak berkebutuhan khusus juga disiapkan untuk menjadi terapis sebaya.
"Alhamdulillah sekolah kami tak ada bullying antar siswa. Bahkan mereka saling bantu dan saling dukung kepada siswa brkebutuhan khusus," kata Noer Ngalim Yassin, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan.