Suara sirine
kedatangan kereta dari kotamu terdengar menderu. Kali ini suaranya
terdengar begitu tajam. Terasa menghentak gendang telinga dan menusuk
dada.
Entah mengapa, detak jantungku tiba-tiba berubah menjadi lebih cepat.
Aku juga tak kuasa mengendalikan laju napasku seperti biasanya. Mendadak
aku berada dalam situasi yang kurang menyenangkan, dan menegangkan.
Kupandangi secarik kertas di tanganku. Surat darimu sudah tampak semakin
lusuh dan lembab oleh keringat di tanganku. Berdasarkan apa yang
kautulis di sana, kau akan sampai di kotaku tepat pada jam ini.
"Aku akan naik kereta pemberangkatan terakhir. Mungkin aku akan sampai
di sana pada petang hari. Kau tahu bukan, aku sangat senang melihat
kemilau senja dari jendela kereta? Lalu akan melukisnya untukmu."
Tulismu pada sebuah kertas yang dulu kubelikan khusus untuk kita saling
berkirim surat.
Dan kereta yang perlahan berhenti dengan diiringi derit oleh gesekan
besi rel itu, aku tahu, adalah kereta terakhir yang kaumaksud. Tapi
sampai saat ini, aku tak tahu saat ini kau berada di antara salah satu
gerbong kereta itu atau tidak, untuk memenuhi janjimu menemuiku.
Sudah enam bulan lebih kita tak bertukar kabar. Tidak. Lebih tepatnya,
kita putus kontak. Surat-surat yang kukirim untukmu tak pernah ada
kabarnya, apalagi balasannya. Selama itu pula aku menunggu kiriman surat
darimu, tapi sama sekali tak ada surat yang datang.
"Aku ingin menghabiskan malam tahun baru hanya bersamamu. Berdua saja."
Janji yang kautulis pada suratmu yang terakhir kaukirim itu amat
kutunggu.
Aku semakin gelisah. Tak kujumpai wajahmu di antara lalu lalang manusia
di stasiun ini. Tak kudapati laki-laki berambut panjang dengan cambang
yang kurang terawat sedang membawa bingkai lukisan, seperti yang
kaukatakan dulu dalam suratmu yang terakhir. Tapi mataku tak lelah untuk
menilisik kerumunan itu. Aku percaya kau akan datang, menepati janjimu.
Kuedarkan pandanganku pada sekeliling ruang tunggu stasiun. Para
penumpang dan para penjemput tampak begitu sibuk dan berlalu lalang.
Mereka terlihat bergembira oleh perjumpaan. Rasa lelah setelah menempuh
perjalanan dan penantian, seketika lenyap saat tubuh saling mendekap dan
saat mata saling bertatap dari jarak yang begitu dekat.
Pikiranku mulai melayang. Atau jangan-jangan kau lupa dengan janjimu?
Atau jangan-jangan kau lupa kalau hari ini adalah tanggal 31 Desember?
Tidak mungkin. Pikiranku yang lain membantah. Aku tahu kau bukan
sosok lelaki yang gemar ingkar janji. Aku juga paham sekali, kau sangat
tertib mengatur jadwal.
Tapi sampai saat ini wajahmu tak juga terlihat olehku. Sementara kerumunan mulai berangsur sepi.
Menurut rencana, ah tidak, yang benar adalah menurut janjimu, malam ini
kita akan menyaksikan pergantian tahun berdua saja di teras kamar hotel
paling tinggi di kotaku sambil menikmati _wine_. Lalu kita akan mabuk
bersama, dan mungkin kemudian akan bercinta. Untuk yang terakhir
kalinya.
Suasana stasiun semakin sepi. Seluruh penumpang kereta sepertinya sudah keluar semua.
Kalau malam ini kau tak datang, mungkin sepanjang hidupku kelak akan
diliputi oleh penyesalan. Dan esok akan menjadi hari paling menyedihkan
dalam hidupku karena harus menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak
kukenal dan kucintai.
Kupandangi cincin emas yang melingkar di jari manisku.
Di ruang tunggu ini, aku masih menunggumu. Aku masih ingin duduk di sini
menunggumu. Lalu tiba-tiba aku berpikir, kereta tadi bukanlah kereta
terakhir seperti yang kaumaksud.
Sumber : Primuda.com